INVICTUS

Leave a comment

INVICTUS

(William Ernest Henley)

Out of the night that covers me,

Black as the Pit from pole to pole,

I thank whatever gods may be

For my unconquerable soul.

 

In the fell clutch of circumstance

I have not winced nor cried aloud.

Under the bludgeonings of chance

My head is bloody, but unbowed.

 

Beyond this place of wrath and tears

Looms but the Horror of the shade,

And yet the menace of the years

Finds, and shall find, me unafraid.

 

It matters not how strait the gate,

How charged with punishments the scroll.

I am the master of my fate:

I am the captain of my soul.

 

 

Puisi diatas merupakan salah satu teman setia yang menemani dan menginspirasi Nelson Mandela dalam menghadapi hari-hari di penjara Robben Island. Invictus adalah sebuah puisi victorian, karya penyair Inggris William Ernest Henley. Yang ditulis tahun 1875 dalam buku “Book of Verses”. Invictus sendiri merupakan kata dalam bahasa latin, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti unconquered, undefeated, invincible. Sedangkan Nelson Mandela adalah salah satu tokoh besar dunia, mantan Presiden Afrika Selatan, peraih Nobel Perdamaian tahun 1993 dan yang terpenting dia adalah seorang pejuang.

Pada tahun 1962, Mandela dihukum dihukum penjara seumur hidup karena menentang pemerintah Afrika Selatan yang menjalankan politik Apartheid. Dalam penjara Mandela tidak kehilangan semangat untuk memperjuangkan persamaan hak antara kulit hitam dengan kulit putih. Meski berbagai perlakuan yang tidak mengenakkan harus dia alami. Mulai dari sel penjara yang tidak layak, melakukan pekerjaan kasar di pertambangan hingga rantai yang mengikat di kaki.

Tubuh Mandela mungkin saja terkungkung dalam batasan dinding dan terali-terali besi, ”Malam yang menyelimutiku, Gelap pekat dari kutub ke kutub.”.  Namun pikiran dan semagatnya terbang tinggi melampaui semua batasan tersebut. “Aku berterimakasih kepada Tuhan. Untuk jiwa yang tak terkalahkan.

Tubuhnya boleh lelah, terluka ataupun berdarah tapi tak ada satu lukapun dalam jiwanya. Peluh bercucuran dari badannya, air mata menetes dari matanya namun tak ada jeritan dendang dan tangisan penyesalan dalam hatinya.“. Aku tidak meringis atau menangis keras. Kepala saya berdarah, tapi tidak tertunduk.”.

Mandela adalah orang yang kuat setiap rintangan yang dia terima dia hadapai dan itu menambah kematangan berpikir dan bertindaknya. Alih-alih melemah pengaruh Mandela justru semakin meningkat. Para penduduk kulit hitam menjadikan Mandela sebagai simbol yang mampu menyatukan dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Mandela benar-benar orang yang hebat. Bahkan setelah apa yang dia lalui di penjara kata-kata pertama yang dia katakana adalah …saya telah mamaafkan semua, dan marilah kita bangun negara ini bersama…

Ancaman-ancaman yang diberikan di penjara justru membuat Mandela semakin kuat. “Ancaman dari tahun ketahun. Akan menemukan aku tanpa ketakutan.”. Karena bukan dimana jasad kita berada yang menentukan nilai kita, tapi bagaimana kita menghargai keadaan dan berjuang untuk sesuatu yang kita impikan. Karena Akulah penguasa nasibku. Aku adalah kapten jiwaku. .


Arjuna Wiwaha

Leave a comment

Tapa brata Arjuna

Tujuh sosok cantik nampak sibuk merias diri di pingir sungai yang menalir di Gunung Indrakila. Paras-paras cantik alami meraka memancarkan pesona yang membuat semesta alam tersipu. Mereka adalah tujuh bidadari yang hari itu akan melakukan sesuatu yang penting. Mereka dikirim untuk menuji kelayakan seorang anak manusia dalam bertapa mencari kekuatan untuk membantu saudaranya. Seorang pria yang akan mengukir tinta emas dalam sejarah. Sesorang berparas rupawan, sakti mandraguna dan berbudi luhur. Dia adalah Arjuna sang panengah Pandawa.

Arjuna oleh Batara Indra dipandang mampu menjadi penyelamat Kahyangang dari serangan Niwātakawaca. Niwatakawaca adalah seorang raksasa sakti yang mengancam akan menyerang dan menghancurkan Kahyangan Batara Indra jika ditolak untuk mempersunting bidadari bernama Suprabha. Tapi sebelumnya Arjuna pun harus diuji.

Ketujuh bidadari itu pun berjalan menembus keindahan alam Gunung indrakila dan sampailah di gua tempat Arjuna bertapa. Mereka pun mencoba menggagalkan tapa brata Arjuna dengan paras ayu dan pesona mereka. Namun Arjuna adalah ksatria yang berpegang teguh pada prinsipnya. Dia tidak sedikitpun tergoda dengan dengan godaan para Bidadari. Para bidadaripun kembali ke kayangan, mereka sampaikan kepada Batara Indra tentang kesungguhan hati Arjuna.

Kemudian Batara Indra sendiri yang turun untuk menguji kemurnian hati Arjuna. Diapun turun dari kayangan menuju Gunung Indrakila. Sesampainya di gua tempat Arjuna bertapa, Batara Indra merubah wujudnya menjadi seorang tua renta. Dengan wujud yang telah berubah Batara Indra masuk kedalam gua, dia berjalan perlahan dibantu oleh tongkatnya. Kemudian bertemulah dia dengan Arjuna. Arjuna yang melihat orang tua yang bungkuk berjalan terbopoh-bopoh hampir terjatuh kemudian menghentikan tapa bratanya dan menghampiri orang tua tersebut. Namun Batara Indra justru tersenyum. Karena apa dilakukan Arjuna sebagai wujud rasa peduli dan hormatnya kepada orang tua bukan sebagai kegagalan pertapaan.

Niwātakawaca mendengar bahwa para dewa meminta bantuan Arjuna maka ia pun mengutus raksasa bernama Muka untuk membunuh Arjuna. Muka berubah wujudnya menjadi seekor babi hutan kemudian mengamuk di Indrakila. Arjuna yang merasa terganggu kemudian keluar dari gua pertapaannya. Untuk menghentikan gangguan babi hutan Arjuna kemuadian menarik anak panahnya dan memanahkannya kearah kearang babi itu. Namun pada saat bersamaan ada panah pemburu Kirata  yang sama-sama mengenai babi tersebut.

Terjadilah perselisihan antara Arjuna dan orang Kiraṭa itu tentang siapa yang telah membunuh binatang itu. Perselisihan tersebut berujung pada perkelahian. Arjuna yang hampir kalah, memegang kaki lawannya, tetapi pada saat itu wujud si pemburu lenyap dan Siwa menampakkan diri sebagai ardhanarīśwara ‘setengah pria, setengah wanita’ di atas bunga padma.

Arjuna kemudian m mengungkapkan pengakuannya terhadap kekuatan dan kebijaksanaan Siwa. Sebagai balasan Siwa menghadiahkan kepada Arjuna sepucuk panah sakti Pasoepati. Dan dengan itu pula selesailah tapa brata Arjuna.

Peperangan dengan Niwātakawaca

Setelah mendapatkan panah pasoepati maka Arjuna ingin kembali kepada Pandawa merebut kembali Amertha dari Kurawa. Selama ini Pandawa hidup dalam pengasingan dan kehilangan hak atas kekuasaan di Amertha setelah kalah bermain judi 12 tahun yang lalu. Dan saat ini adalah saat yang tepat bagi Arjuna dan saudaranya untuk kembali ke Amertha.

Namun ditengah keinginan untuk membantu saudaranya datanglah dua apsara ‘makhluk setengah dewa setengah manusia’, menyampaikan pesan dari Batara Indra yang intinya Arjuna bersedia membantu para dewa menghadapi Niwatakawaca. Arjuna merasa ragu-ragu, karena dia berkewajiban membantu saudaranya tetapi karena Arjuna berjiwa ksatria dia akhirnya setuju.

Namun Niwātakawaca adalah seorang raksasa sakti yang bahkan dewa pun tak sanggup untuk membunuhnya. Untuk itu Batara Indra mempunyai ide untuk mencari tahu kelemahan Niwātakawaca dengan memanfaatkan rasa suka Niwātakawaca kepada bidadari Suprabha.

Maka pada bulan purnama Suprabha ditemani Arjuna menuju ke kerajaan Niwātakawaca. Dalam skenarion batara Indra, Suprabha seakan-akan meningggalkan kahyangan dengan kemauan sendiri dan ingin menjadi istri dari Niwātakawaca. Padahal Suprabha diutus untuk mencari tahu kelemahan Niwātakawaca.

Di taman sari Niwātakawaca meminang dan merayu Suprabha, dengan pintar Suprabha meminta waktu hingga fajar guna memenuhi permintaan Niwātakawaca. Selama itu dia merayu Niwātakawaca untuk mengatakan kelemahannya dan k arena sedang di’mabuk asmara’ Niwātakawaca pun menceritakan rahasianya, bahwa titik lemahnya ada di ujung lidahnya. Saat fajar Suprabha bersama Arjuna dengan ‘ajian’ kasap mata meyelinap pergi dari kerajaan Niwātakawaca dan kembali ke kahyangan.

Mengetahui dia ditipu maka Niwātakawaca pun marah dan memerintahkan pasukannya untuk menyerang kahyangan. Maka terjadilah pertempuran sengit di kahyangan batara Indra. Niwātakawaca dengan kesaktiannya membuat para dewa kewalahan. Kemudian Arjuna mempunyai siasat. Dia pura-pura melarikan diri sambil memancing perhatian  dan kemarahan Niwātakawaca. Niwātakawaca pun terrangkap dalam jebakan Arjuna, dia mengejar Arjuna dengan marah-marah sehingga mulutnya terbuka. Saat lengah maka Arjunapun memanahkan panah pasoepati kearah ujung lidah Niwātakawaca. Niwātakawaca pun tewas dan para raksasapun berhasil dikalahkan.

Pernikahan Arjuna

Keberhasilan Arjuna mengalahkan Niwātakawaca telah mengesankan para dewa. Batara Indra kemudian memberikan hadiah Selama tujuh hari (menurut perhitungan di surga, dan ini sama lama dengan tujuh bulan di bumi manusia) ia akan menikmati buah hasil dari kelakuannya yang penuh kebeberaniannya itu, ia akan bersemayam bagaikan seorang raja di atas singgasana Indra. Setelah ia dinobatkan, menyusullah upacara pernikahan sampai tujuh kali dengan ketujuh bidadari termasuk Suprabha.

Namun kenikmatan surgawi tidak membuat Arjuna tenang. Didalam hatinya masih gelisah karena meninggalkan Pandawa. Akhirnya Arjuna memutuskan untuk kembali kedunia dan bergabung kembali dengan saudaranya. Dia merahasiakan pengalaman ini kecuai tentang panah pasoepati yang akan digunakan untuk  mengalahkan Kurawa.

Arjuna Wiwaha merupakan kekawin Jawa kuno karangan Empu Kanwa pada zaman kerajaan Kahuripan dibawah raja Airlangga. Kekawin ini merupakan gubahan dari cuplikan “wanaparwa” dalam epic mahabarata yang ditulis sekitar tahun 1032 Masehi.

Source:

Anonim. Kakawin Arjunawiwāha diunduh dari <http://id.wikipedia.org/wiki/Arjuna_Wiwaha&gt; tanggal 22/10/11

Ignatius Kuntara Wiryamartana, 1990, Kakawin Arjunawiwaha. Transformasi Teks Jawa Kuna. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan.